29.2 C
Indonesia
Thursday, October 23, 2025

Detik, Menit, dan Hasil: Filosofi Waktu di Balik Lahirnya AdsMinutes.com

Di dunia entrepreneurship, jarak antara “pengangguran” dan...

Founder, Sudah Saatnya Kisahmu Ditulis

Setiap startup punya cerita.Ada yang dimulai dari...

Pertumbuhan Bisnis Berdasarkan Detak Waktu, Analogi Pebisnis

Ini adalah kali pertama saya membangun sebuah...

Teriakan dalam Kesunyian

Catatan PerintisTeriakan dalam Kesunyian

Ada kalanya seorang founder bukan hanya berjuang melawan dunia luar, tapi juga melawan dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa mendengar teriakannya, sebab teriakan itu hanya bergaung di dalam kepala. Sunyi di luar, tapi bising di dalam.

Di satu sisi, ia ingin sekali berdiri di tengah jalan dan berteriak sekeras-kerasnya: “Aku muak! Aku lelah! Aku tidak sanggup lagi!” Namun, mulutnya tetap terkunci rapat. Yang keluar hanyalah senyuman tipis kepada timnya, kepada keluarganya, atau kepada dunia yang melihatnya dari layar sosial media.

Kesunyian itu seolah menjadi tembok yang menelan seluruh jeritan. Ia sadar, sekali saja ia mengucapkan keputusasaan itu, semua akan goyah. Orang-orang yang percaya padanya akan kehilangan harapan. Investor akan meragukan. Tim akan runtuh. Maka teriakan itu ditelan bulat-bulat, meski suaranya menggelegar di dalam diri.

Di kepala founder, ada ribuan percakapan yang tidak pernah selesai. Ada suara yang berkata: “Sudahlah, berhenti saja. Buat apa semua ini?” Lalu datang suara lain yang membalas: “Tidak, kau sudah terlalu jauh. Jika berhenti, semua pengorbanan akan sia-sia.” Suara-suara itu bertarung setiap hari, membuat pikiran semakin bising, tubuh semakin letih.

Namun ironisnya, justru di tengah kebisingan itu, ia menemukan alasan untuk tetap berdiri. Ia tahu, rasa muak bukan berarti menyerah. Rasa muak itu justru tanda bahwa ia sedang berada di batas. Dan di balik batas itu, ada pintu baru yang menunggu untuk diketuk.

Teriakan dalam kesunyian adalah bentuk perlawanan paling jujur seorang founder. Ia tidak keluar untuk didengar orang lain, tapi keluar untuk mengingatkan dirinya sendiri: bahwa ia masih hidup, bahwa ia masih berjuang, bahwa ia belum kalah.

Mungkin orang lain hanya melihat senyumnya, postingannya, atau keberhasilannya. Tapi hanya ia yang tahu, betapa mahal harga dari kesunyian yang harus ia telan. Dan hanya ia yang tahu, betapa keras teriakannya di dalam kepala, meski tidak pernah terdengar oleh siapa pun.

Di titik ini, menjadi founder bukan lagi soal meraih mimpi, tapi soal bertahan di tengah perang sunyi yang tidak kasat mata. Perang melawan rasa muak, melawan rasa lelah, melawan keinginan untuk berhenti.

Dan jika suatu hari semua orang bertanya bagaimana ia bisa sampai di puncak, jawabannya sederhana: karena ia tidak pernah berhenti berteriak—meski teriakan itu hanya terdengar dalam kesunyian.

Check out our other content

Check out other tags:

Most Popular Articles