Menjadi entrepreneur sering kali digambarkan glamor: punya bisnis sendiri, bebas atur waktu, tidak terikat jam kerja, dan bisa meraih kebebasan finansial. Padahal, realitanya jauh dari bayangan itu.
Jujur saja, jadi entrepreneur itu beda tipis dengan pengangguran. Kenapa? Karena jika hari ini tidak ada penjualan, tidak ada pemasukan, maka statusmu sama saja dengan orang yang menganggur. Kamu bisa duduk seharian di depan laptop, meeting dengan tim, bikin strategi, tapi kalau tidak ada transaksi yang masuk — tetap nol.
Bedanya baru terasa ketika omzet hadir. Kalau hari ini ada yang transfer Rp1 juta, seketika statusmu berubah: bukan lagi pengangguran, tapi “pengusaha.” Ironis memang, tapi begitulah dunia ini menilai: angka revenue yang jadi tolok ukur.
Tidak peduli seberapa keras kamu bekerja di balik layar, tidak peduli seberapa banyak strategi yang kamu susun, di luar sana orang hanya melihat hasil. “Bisnismu sehat atau tidak?” yang dimaksud bukan soal visi, bukan soal kerja keras, tapi angka penjualan.
Inilah tipisnya garis pemisah:
-
Pengangguran: tidak ada pemasukan.
-
Entrepreneur: ada omzet, sekecil apapun.
Dan kenyataannya, posisi itu bisa berubah setiap hari. Hari ini kamu bisa disebut “bos besar,” besok kamu bisa kembali dianggap “nganggur” hanya karena angka penjualan tidak bergerak.
Namun, di balik perbedaan tipis itu, ada hal yang tidak bisa disepelekan: mentalitas. Entrepreneur yang bertahan adalah mereka yang tetap bekerja walaupun tidak ada pemasukan. Mereka yang tetap menyiapkan strategi meski hasil belum kelihatan. Mereka yang mengubah rasa cemas jadi daya juang.
Karena pada akhirnya, status pengusaha itu bukan ditentukan orang lain. Bukan hanya ditentukan omzet hari ini. Tapi bagaimana kamu tetap melangkah, walau garis tipis itu setiap hari membuatmu goyah.
Menjadi entrepreneur berarti berdiri di batas tipis antara pengangguran dan pengusaha. Bedanya? Keberanian untuk terus mencoba sampai akhirnya angka penjualan itu datang.