Orang-orang tidak akan peduli berapa kali kamu mencoba dan gagal.
Mereka tidak peduli malam-malam yang kamu habiskan dalam depresi, tidur dengan cemas, atau terjaga dengan kepala penuh angka minus.
Yang orang suka hanyalah cerita keberhasilan. Mereka suka kisah startup yang berhasil pivot, yang akhirnya dapat pendanaan, yang foundernya bisa foto dengan senyum penuh percaya diri. Mereka lebih senang melihat “proses” yang indah—kopi enak di co-working space, laptop mahal di meja kayu estetik, hidup damai dan tenang.
Padahal kenyataannya, tidak ada yang indah dari perjalanan itu.
Yang ada adalah realita: kehabisan modal, gaji tim tertunda, hutang menumpuk, dan keyakinan diri yang terkikis sedikit demi sedikit.
Yang ada adalah pertanyaan dalam hati, “Apakah ini akhir? Apakah semua perjuangan sia-sia?”
Menjadi founder bukan tentang glamour. Bukan tentang headline di media. Bukan tentang foto di atas panggung dengan blazer rapi.
Menjadi founder berarti siap menerima bahwa kehidupan tidak selalu baik. Bahwa kadang kamu di atas, tapi lebih sering kamu jatuh di bawah. Bahwa resiko mental, resiko finansial, resiko kehilangan semuanya—itu nyata, bukan teori.
Dua proses itu ibarat siang dan malam. Siang yang terang, penuh pujian dan sorotan. Malam yang gelap, penuh kegelisahan dan rasa ingin menyerah.
Dan hanya entrepreneur yang benar-benar menjalani, yang paham bahwa keduanya adalah bagian dari satu perjalanan yang sama.
Jika kamu tidak siap mental, jangan jadi founder.
Karena dunia startup bukan soal siapa yang punya ide paling keren, tapi siapa yang bisa bertahan paling lama.